Terompet Tahun Baru

terompet-tahun-baru

Saat itu adalah hari pertama masuk Sekolah Dasar, kami di dalam kelas, sekitar 20-an murid, duduk berdua-dua di kursi dengan meja kayu di depannya. Wali murid kami, seorang ibu guru bertubuh besar, terbungkus seragam kerja coklat dengan kerudung menutupi rambutnya, bertanya di depan kelas, pada semua murid barunya. “Apa cita-cita kalian, anak-anak?”

20 murid baru dengan rambut klimis dan seragam merah putih mengkilat berlomba menjawab, ada yang ingin jadi dokter, polisi, pilot, tentara, insinyur, seperti pak Habibie, presiden, hingga sekjen PBB. Tapi satu anak, duduk dibelakang tak menjawab, ia duduk tenang melihat teman-temannya berlomba menyatakan cita-cita mereka. Bu guru melihat anak itu, lalu bertanya kepadanya; “Kamu, ya kamu yang duduk di belakang itu, apa cita-cita kamu nak?” tanya bu guru. Si anak tersenyum, melihat ke sekeliling ruang kelas lalu menjawab;

“Aku ingin jadi pedagang terompet tahun baru, bu!” jawabnya lantang. Bu guru tersenyum, seluruh isi kelas tertawa, dan bu guru bertanya lagi, “Siapa nama kamu nak?” Si anak kemudian menyebutkan namanya.

*

Setiap menjelang tahun baru, aku selalu mengingat temanku itu. Aku lupa namanya, nama yang ia sebutkan dulu, karena saat anak itu menyebutkan namanya, seisi kelas masih menertawakan cita-citanya. Lalu aku mengingat cita-citaku, menjadi pilot adalah cita-cita yang kusebutkan kala itu, apakah kesampaian? Tidak. Kini aku duduk di belakang meja kayu bekas peti kemas yang oleh para tukang kayu disulap menjadi meja sederhana sebagai tempat kerjaku menulis. Aku gagal menjadi pilot.

Devi Purnamasari, aku menemukan nama teman SD ku itu di Facebook, kulihat wajahnya, dan yakinlah aku itu wajah siswa paling pintar di sekolahku dulu, aku ingat-ingat lagi, apa cita-cita Devi, menjadi Sekjen PBB yang kudengar hari itu. Apakah cita-cita Devi terwujud? Sepertinya tidak, dari foto-fotonya di facebook, kulihat ia berdagang pakaian muslim di Samarinda. Lalu kulihat akun-akun Facebook teman SD-ku yang lain. Yang masih bisa kuingat nama-namanya, ada Joko, ia gagal jadi tentara. Ada Budi, ia gagal jadi insinyur dan tak sedikit pun menyamai Habibie.

*

Apa yang membuat cita-cita teman-temanku gagal di kemudian hari? Tak mungkin aku bertanya pada teman-temanku dulu. Ada baiknya, aku bertanya pada diriku sendiri. Apa yang membuat aku gagal menjadi pilot? Seingatku, karena gigi. Ya, aku dulu malas menyikat gigi, kemudian bolong-bolong. Syarat menjadi penerbang tentu gigi yang bagus. Tapi, seingatku, aku juga tak pernah mencoba untuk mendaftar sebagai pilot, baik militer maupun sipil. Entah apa penyebabnya. Mungkin aku ternyata takut terbang, takut ketinggian, atau males melihat latihan fisik yang harus kujalani untuk menjadi pilot, dan pastinya, aku males berpikir, buanyaknya buku yang harus kupelajari jika ingin menjadi pilot. Dan bisa jadi, berbagai macam hal itulah yang membuat teman-teman SD-ku juga merubah cita-citanya dikemudian hari. Tapi bagaimana dengan anak itu? Tentu tak susah untuk mewujudkan cita-citanya menjadi ‘Tukang Penjual Terompet Tahun Baru’ kan?

*

“Kenapa kamu ingin menjadi penjual terompet tahun baru, nak?” tanya bu guruku saat itu, setelah suasana kelas mereda dari derai bahak. Si anak tersenyum, lalu dengan kedua tangannya ia membuat terompet dan menaruhnya di depan bibirnya sendiri, “TEEEET!” lalu terdengar suara itu, suara yang kembali memancing tawa di seantero kelas. Dan sepertinya, hari itu, hanya aku yang tak mentertawakan cita-citanya, anak itu memandangku, lalu tersenyum.

Aku masih mengingat hari itu dengan kuat. TEEET!

Dan aku terkaget sendiri, ada suara terompet menyalak di dekat telingaku. Anakku kemudian terbahak. Ia berhasil mengagetkanku. Membangunkanku dari lamunan. “Kamu beli terompet itu di mana nak?” tanyaku.

“Ada yang jualan, di depan Yah,” jawab anakku. Seketika aku berlari ke luar rumah, tapi tak kutemui siapapun. Kemudian aku berlari lagi keluar komplek perumahan, ke jalan besar. Dan kulihat, puluhan penjual terompet berjajar di atas trotoar.

*

Seraya melangkah, aku mendekati para penjual terompet itu satu persatu, mereka tersenyum dan menawarkan terompet tahun baru itu padaku. Tapi aku hanya menggeleng, aku hanya ingin melihat wajah para tukang terompet itu. Satu demi satu seraya membayangkan wajah teman SD-ku dulu tuanya kira-kira seperti apa. Dan setelah hampir sepanjang jalan, setelah puluhan wajah tukang terompet aku perhatikan, sepertinya wajah-wajah itu tak ada yang cocok dengan wajah tua teman SD-ku, setidaknya wajah yang aku perkirakan adalah wajahnya.

*

TEEET!

“Kamu nggak beli terompet tahun baru nak?” tanyaku. Anakku mengangguk. Malam itu kami menikmati jalanan yang penuh orang-orang berjalan kaki menyambut tahun baru. Anakku yang sudah besar menghampiri seorang pedagang terompet yang dagangannya tinggal sedikit, ratusan, bahkan ribuan orang menggenggam terompet, malam itu. Hingga tanpa sadar, anakku sudah kembali mendekat padaku.

“Ayah mikirin apa sih?”

Aku menggeleng. Dua buah terompet tergenggam di tangannya. Ia menyodorkan satu untukku. “Aku perhatikan, hampir setiap tahun ayah memandangi para tukang terompet di pinggir jalan,” tanya anakku penasaran.

“Masak sih?” tanyaku berusaha menyembunyikan. Ia mengangguk cepat.

“Nggak ada apa-apa, hanya saja… sudahlah lupakan, nak,” kataku kemudian seraya menaruh ujung terompet di mulut.

*

TEEET!

“Kakek, aku mau terompet!” seru cucuku melompat-lompat di dalam mobil yang kukemudikan, bertahun kemudian, menjelang tahun yang akan kembali baru. Aku segera menepikan kendaraan. Dan seraya menggandeng cucuku, aku mendekati tukang terompet itu. Tentu saja, seperti kebiasaan-kebiasaaanku setiap tahun, aku memperhatikan wajah si tukang terompet. Dari jauh, aku sudah mencari wajah si tukang terompet, tapi sepertinya, tukang terompet kali ini bukanlah mantan teman SD-ku dulu, ia masih muda. Lebih muda dariku. Jika ia temanku, pasti ia telah berumur sepertiku.

Dalam gandengan tanganku, cucuku melompat-lompat dengan hati gembira, karena kami sudah mendekati si penjual terompet dan puluhan terompet yang ia pajang. Si tukang terompet, yang lebih muda itu melihat kami, ia kemudian memasang kedua tangannya di depan bibirnya, memperagakan gerakan yang aku ingat itu, gerakan yang dulu diperagakan teman SD-ku di kelas. Tapi, aku merasa, ia memamerkan gerakan itu untuk memikat cucuku. Terbukti cucuku melepaskan tangannya dari peganganku dan berlari ke arah terompet-terompet itu. Cucuku memilih-milih terompet yang akan ia beli.

“Anak muda,” kataku kemudian pada si tukang terompet, “Dari mana kau tahu gerakan itu?” tanyaku tiba-tiba tanpa sadar mungkin saja itu pertanyaan konyol. Tapi si tukang terompet itu tersenyum, “Ayah mengajarkannya padaku,” jawabnya kemudian seraya tersenyum. “Ayahmu?” tanyaku kemudian, ia mengangguk. “Menjadi tukang terompet adalah cita-citaku, seperti …” ia tak melanjutkan kata-katanya. “Seperti?” aku mendesaknya. Ia tersenyum memandangku. “Anda tak akan percaya apa yang akan kukatakan,” katanya kemudian, “Ayahku dan aku memiliki cita-cita yang sama, menjadi tukang terompet!” ia berkata dengan bangga. Aku pun tersenyum, entah mengapa, aku senang mendengar jawabannya itu. “Kenapa Anda tersenyum?” tanya si tukang terompet. “Sepertinya, aku mengenal ayahmu itu.” jawabku.

*

TEEET!

Malam itu, beberapa jam menjelang tahun baru. Aku dibawa si tukang terompet muda ke rumahnya. Turun dari mobil, aku sempat terkejut melihat rumahnya yang besar. Boleh dikata, bahkan, luar biasa besar.

TEEET!

“Itu ayah,” kata si tukang terompet, “Pasti ia sedang mengecek terompet-terompet yang hendak dijual.” lanjutnya. Aku mendengarkan kata-katanya dengan heran. “Ya, begitulah Ayah, bahkan tahun baru tinggal beberapa jam lagi, ia masih bersemangat mengecek terompet-terompet baru, tentu saja tak akan dijual untuk tahun ini, tapi tahun depan,” terang si tukang terompet muda dengan santai, menambah rasa penasaranku. “Tahun depan?”

TEEET!

“Ayah?!” teriak si tukang terompet muda memanggil ayahnya, tapi aku belum melihat sosok itu, “Ayah?!” si anak memanggil lagi seraya mencari ayahnya dan terus melangkah ke belakang rumah besar itu, kudapati bangunan tinggi besar, seperti gudang, sungguh besar hingga pesawat pun mungkin bisa masuk ke dalamnya. Si anak terus melangkah, membuka pintu bangunan besar itu dan menyakan lampu.

TEEET!

Suara terompet satu-satu itu terus terdengar, tapi aku masih melongo. Di dalam gedung mirip hanggar itu, bergantungan terompet-terompet, jumlahnya ribuan! Beberapa rak terlihat kosong. Tiba-tiba aku mendengar sebuah suara…

“Kau tahu nak, tahun depan kita harus lebih ketat menjaga kualitas, kau lihat terompet-terompet ini, suaranya tak lagi senyaring dan seindah dulu saat ayah masih aktif mengawasi pembuatannya di pabrik” kata laki-laki itu. Pabrik? Ada pabrik terompet?

Sosok itu muncul dari balik rak seraya membawa sebuah terompet di tangan, ia berjalan lagi, menaruh terompet dalam pegangannya di rak, dan mengambil terompet lain lagi. Ia berdiri membelakangi kami. Mataku masih menyapu isi ruangan besar itu, dan tahulah aku apa yang dikerjakannya selama ini. Bertahun-tahun hingga aku menemukannya.

“Baik yah, musim produksi tahun depan…” si tukang terompet muda menghentikan kata-katanya karena ayahnya memotong, “Maret, majukan bulan produksi pada Maret karena permintaan meningkat.” kata laki-laki itu, si anak mengangguk lalu melanjutkan kalimatnya yang tertunda, “Dan Insya Allah aku akan lebih giat mengawasi pekerja-pekerja kita di pabrik,” jawab si tukang terompet muda pada ayahnya, “Tapi ayah, ada seseorang yang ingin saya pertemukan dengan ayah,” lanjut si tukang terompet muda. “Siapa nak?” tanya ayahnya tanpa menoleh, “Jika ia ingin menjadi tukang terompet tahun ini, sudah terlambat, beberapa jam lagi tahun baru, suruh kembali awal Desember tahun depan,” jawab ayahnya kemudian.

“Saya kemari bukan untuk menjadi tukang terompet, karena itu bukan cita-cita saya sejak kecil.” kataku kemudian, “Menjadi tukang terompet, adalah cita-cita teman SD saya.” aku menyelesaikan kata-kataku dengan perlahan dan tegas. Laki-laki itu menaruh terompetnya, lalu menoleh padaku. Buru-buru aku menaruh kedua tanganku yang tergenggam di depan mulut, dan mengembangkan kedua jemariku pada tangan yang paling depan seolah menjadi mulut terompet, lalu aku membuat suara itu…

“TEEEET!”

“Kau!” teriaknya. “Aku ingat wajahmu!” ia melangkah cepat mendekat ke arahku. Aku tersenyum padanya. “Kau!” ia mengulang lagi kata-katanya, “Kau satu-satunya anak yang tak tertawa saat mendengar aku mengatakan apa cita-citaku!” ia berseru. “Ya,” kataku kemudian, “Karena anak-anak satu kelas dan bahkan guru kita saat itu tak tahu, bahwa cita-citamu ternyata adalah memiliki satu-satunya pabrik pembuat terompet, yang menyuplai ribuan bahkan jutaan atau milyaran terompet setiap tahunnya dan bahkan mengekspornya ke seluruh penjuru dunia serta ditiup secara bersamaan pada waktunya!” ujarku panjang lebar.

“TEEEEEEEETTT!” ia menaruh kedua genggam tangannya di mulut dan menirukan suara terompet dengan keras. Waktu hampir menunjukkan saat pergantian tahun, “Kau ingin meniup terompet, teman SD-ku?” tanyanya. Aku tersenyum, “Setiap tahun baru, setiap meniup terompet bersama istri, lalu anakku, lalu cucuku, aku selalu mengingat kamu dan cita-citamu,” kataku seraya tersenyum. “Akulah pembuat alat penanda pergantian tahun,” katanya dengan bangga seraya menyerahkan sebuah terompet padaku. “Dan yang orang-orang buat adalah, selalu meremehkan cita-cita yang sederhana.”

“TEEEET!”

*

4 responses to “Terompet Tahun Baru

  1. awesome story…jadi inget cm aku sendiri di kelas yg punya “cita2 aneh”..jadi tukang pos di amerika atau cleaning servis di NASA..and still working on it

Leave a comment